2 Des 2021, 14:00 WIB
Liputan6.com, Jakarta - Pakar keamanan
siber, Pratama Persadha, mengajak masyarakat untuk lebih waspada
terhadap ancaman kebocoran data baik dari pencurian data maupun ulah ransomware di
2022.
Hal ini
bukan tanpa alasan, menjelang tahun 2022, amukan Covid-19 masih masif di Eropa
dan belahan dunia lain. Salah satunya karena ganasnya virus corona varian Omicron. Dengan ganasnya pandemi, otomatis
perusahaan kembali menerapkan WFH.
Sayangnya
hal ini juga berdampak bagi keamanan siber, dengan banyaknya orang yang bekerja
online, angka peretasan dan kebocoran data pun bisa makin tinggi.
Khusus
Indonesia, laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyebut hingga Oktober
2021, lebih dari 1 miliar serangan
siber mengarah ke Indonesia. Angka ini 2 kali lipat lebih
banyak dibanding pada 2020.
Perusahaan
teknologi IBM mencatat, tiap kebocoran data membuat kerugian finansial yang
jumlahnya terus meningkat. Pada 2020, angka kerugian finansial akibat kebocoran
data adalah USD 3,86 juta dan naik jadi USD 4,24 juta di 2021.
Jika
dirata-ratakan, kebocoran data menyumbang kerugian sebesar Rp 2,5 juta untuk
satu data masyarakat. Lantas, ancaman siber seperti apa yang mengintai di tahun
2022?
Chairman
Lembaga Riset Siber CISSReC ini menyebut, ancaman siber pada 2022 tidak akan
jauh dari ancaman yang terjadi pada 2021. Untuk itulah, ia menganggap Indonesia
punya pekerjaan rumah untuk mencegah kebocoran data, baik di lembaga negara
atau swasta.
Pratama
mengatakan pada 2021 ini, Indonesia sudah mencatatkan rekor buruk di global
dalam kasus kebocoran data BPJS Kesehatan. Jumlah
data yang bocor adalah 279 juta data, termasuk dalam salah satu pelanggaran
data terbesar di dunia.
"Dari
peristiwa tersebut, seharusnya pemerintah bisa belajar, agar tidak terulang
kesalahan yang sama di tahun-tahun mendatang. Ini karena serangan diperkirakan
akan menjadi lebih umum, lebih kuat, dan lebih maju di tahun-tahun mendatang,”
kata Pratama.(BatangKab-CSIRT)